Dumai, Kitamelayu.Com – Menyimak pemikiran seorang akademisi hukum, Bambang Eka Setiawan, terkait persoalan lingkungan lumayan menarik. Apalagi perspektif yang dikedepankan terkait pentingnya pembuktian. Adanya tuduhan tentang dugaan pencemaran lingkungan yang terjadi di kawasan Pelindo Dumai, menurut pendapatnya sangat prematur dan tanpa dasar ilmiah.
Pernyataan akademisi tersebut menegaskan bahwa Pelindo bukan produsen CPO maupun pengolah bungkil sawit, sehingga dianggap tak tepat jika dikaitkan dengan meningkatnya kasus ISPA di wilayah Ring 1. Namun ada hal yang terlupakan, bahwa berdasarkan fakta yang bisa dilihat secara kasat mata, Pelindo sebagai pemilik kawasan Pelindo tidak bisa dilepaskan begitu saja dari rantai kegiatan yang patut diduga berkontribusi terhadap penurunan kualitas udara di sekitar pelabuhan.
Pelindo (Persero) Regional I Dumai melalui PT Pelindo Multi Terminal mengoperasikan terminal curah kering yang menjadi pintu keluar masuk komoditas seperti bungkil sawit (Palm Kernel Expeller), cangkang sawit, hingga produk agrikultur lain. Seluruhnya merupakan komoditas yang secara teknis berpotensi menghasilkan debu saat proses bongkar-muat berlangsung. Sebagaimana diketahui, Jenis komoditas seperti bungkil sawit termasuk kategorihigh dust potential cargo atau muatan dengan potensi debu tinggi.Di terminal ini, kegiatan bongkar-muat dan penumpukan hingga pengapalan dilakukan menggunakan fasilitas dan peralatan yang dikelola langsung oleh Pelindo.
Dengan kewenangan tersebut, Pelindo memiliki tanggung jawab menerapkan standar operasional dan pengendalian lingkungan di seluruh area terminal. Kendati bukan pemilik barang maupun produsen industri, posisi Pelindo sebagai operator terminal menjadikannya bagian penting dalam rantai logistik. Aktivitas berdebu yang selama ini dikeluhkan warga (mulai dari pembongkaran curah kering, penuangan ke hopper, hingga pergerakan truk terbuka), semuanya dilakukan dalam kawasan pelabuhan yang akses dan pengaturannya berada dalam kendali Pelindo Dumai.
Secara geografis, Pelabuhan Dumai terletak hanya beberapa ratus meter dari permukiman penduduk. Kawasan ini sering disebut sebagai “Ring 1”, yaitu zona masyarakat yang paling terdekat dengan aktivitas bongkar-muat dan lalu lintas truk industri. Meski kaitan penyakit dengan sumber polusi harus dibuktikan secara ilmiah, namun data Dinas Kesehatan Dumai terkait masyarakat yang terpapar penyakit ISPA, TBC dan Pneumonia tentu tak bisa diabaikan begitu saja.
Terhitung Januari hingga menjelang ujung tahun 2025, ribuan masyarakat yang bermukim di kawasan Ring 1 PT Pelindo Regional Dumai terpapar penyakit. Setiap bulannya terdapat 400-an warga yang terkena ISPA. Puncaknya pada Bulan Oktober 2025 yang mencapai 1039 kasus ISPA.Sedangkan penderita TBC pada tahun 2024 berjumlah 170 orang meningkat menjadi 177 orang hingga November 2025 dan penderita Pneumonia mencapai 85 orang.
Dampak yang ditimbulkan tentu tak bisa dilepaskan dari keberadaan aktivitas berdebu dalam kawasan Pelindo Dumai. Pernyataan bahwa Pelindo bukan produsen polutan memang benar. Namun data juga menunjukkan bahwa Pelindo merupakan pengelola fasilitas tempat aktivitas berpotensi menghasilkan debu. Hal ini sekaligus menempatkan Pelindo pada posisi yang wajar untuk bertanggung jawab dalam memastikan pengendalian lingkungan yang sesuai standar.
Saat ini memang mungkin belum ada publikasi resmi dari Dinas Lingkungan Hidup mengenai hasil uji kualitas udara guna memastikan sumber pencemar secara akurat. Namun ketiadaan data ini tentu tidak serta-merta menghapus relevansi operasional Pelindo dalam kegiatan yang dinilai memiliki risiko debu tinggi. Masyarakat berhak atas udara bersih, dan perusahaan negara sebesar Pelindo memiliki tanggung jawab moral serta operasional untuk memastikan seluruh aktivitas di wilayah kelolanya tidak berdampak buruk bagi kesehatan warga sekitar.
Banyak pelabuhan besar menerapkan pengendalian ketat sepertiloading spout tertutup,enclosed conveyor, penyiraman rutin, hingga pembatasan waktu operasi. Bila mitigasi tidak optimal, partikel halus dapat mudah terangkat angin dan mencapai permukiman yang jaraknya relatif dekat. Sangat wajar, jika publik menuntut transparansi, mitigasi yang ketat, dan pengawasan yang lebih kuat. (RLS)
Editor: MK
