Kitamelayu, 21 Juli 2025

Di podium yang diselimuti sorot lampu dan gemuruh tepuk tangan, Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa Indonesia sedang melaju di jalur yang benar. Dalam pidatonya di penutupan Kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Surakarta, Jawa Tengah, pada 20 Juli 2025, ia dengan penuh semangat mematahkan narasi “Indonesia Gelap” yang disebutnya sebagai upaya melemahkan semangat bangsa.

“Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) melapor kepada saya, angka pengangguran menurun, angka kemiskinan absolut menurun,” ujarnya, mengutip laporan BPS yang menyebut tingkat kemiskinan absolut pada September 2024 sebesar 8,57 persen atau 24,06 juta jiwa, dan tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 5,32 persen pada Agustus 2023.

Angka-angka ini, kata Prabowo, adalah bukti bahwa roda pembangunan berputar kencang, investasi melampaui target, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 telah tercapai empat bulan lebih cepat.

Namun, di balik sorak sorai optimisme itu, benarkah angka-angka ini mencerminkan realitas yang dirasakan rakyat? Atau, apakah ini sekadar permainan statistik yang memoles wajah pembangunan di tengah ketimpangan yang masih menganga?

Konoha Investigate menelusuri klaim ini, membedah data dari lembaga statistik nasional dan internasional, menimbang pandangan pengamat global, dan mencermati suara-suara dari lapangan. Narasi ini bukan hanya soal angka, tetapi tentang kehidupan jutaan orang yang bergulat dengan kemiskinan dan ketidakpastian kerja.

Angka BPS: Sorotan di Balik Optimisme

Badan Pusat Statistik (BPS), sebagai tulang punggung data resmi Indonesia, menjadi pijakan utama klaim Prabowo. Menurut laporan BPS, tingkat kemiskinan nasional pada September 2024 tercatat 8,57 persen, setara dengan 24,06 juta orang, turun dari 9,36 persen atau 25,9 juta orang pada Maret 2023.

Angka ini dihitung berdasarkan pendekatan Cost of Basic Needs (CBN), yang menetapkan garis kemiskinan nasional sebesar Rp595.242 per kapita per bulan. Garis kemiskinan ini mencakup kebutuhan dasar pangan (2.100 kilokalori per hari) dan non-pangan seperti perumahan, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi.

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan BPS dua kali setahun, pada Maret dan September, menjadi basis pengumpulan data ini, dengan sampel 345.000 rumah tangga pada Maret 2024 dan 76.310 rumah tangga pada September 2024.

Untuk pengangguran, BPS mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 5,32 persen pada Agustus 2023, turun dari 5,86 persen pada Agustus 2022.

Data ini diambil dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), yang mengukur jumlah penduduk usia kerja yang tidak bekerja tetapi aktif mencari kerja.

Angka ini, menurut BPS, menunjukkan tren positif dalam penyerapan tenaga kerja, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diproyeksikan mencapai 5 persen pada 2023 oleh Bank Dunia.

Namun, angka-angka ini bukan tanpa celah. Lili Retnosari, seorang statistikawan dari BPS, dalam tulisannya di Kompas pada 21 Mei 2025, menyoroti bahwa meskipun Indonesia telah naik kelas menjadi negara berpendapatan menengah atas (upper-middle-income country/UMIC) dengan Gross National Income (GNI) per kapita US$4.870 pada 2023, ketimpangan tetap menjadi ancaman serius.

“Hampir 50 persen pengeluaran dikuasai oleh 20 persen kelompok pendapatan teratas selama lebih dari satu dekade,” tulisnya.

Ini menandakan bahwa penurunan kemiskinan absolut tidak serta-merta mencerminkan pemerataan kesejahteraan. Lebih jauh, Retnosari mempertanyakan apakah kebijakan perlindungan sosial dan ketenagakerjaan telah cukup menjangkau kelompok paling rentan.

Perspektif Global: World Bank dan Standar Kemiskinan yang Berbeda

Di panggung internasional, Bank Dunia memberikan sudut pandang yang berbeda. Dalam laporan Macro Poverty Outlook April 2025, Bank Dunia menyatakan bahwa 60,3 persen penduduk Indonesia, atau sekitar 171,8 juta jiwa, hidup di bawah garis kemiskinan internasional sebesar US$6,85 per kapita per hari (berdasarkan paritas daya beli/PPP).

Angka ini kontras tajam dengan data BPS yang hanya mencatat 8,57 persen. Perbedaan ini bukan karena manipulasi, melainkan karena standar yang berbeda.

Bank Dunia menggunakan garis kemiskinan global untuk negara berpendapatan menengah atas, yang jauh lebih tinggi daripada garis kemiskinan nasional BPS. Standar US$6,85 PPP setara dengan sekitar Rp1,2 juta per bulan, jauh di atas garis kemiskinan nasional Rp595.242.

Bank Dunia juga mencatat bahwa Indonesia berhasil mengurangi tingkat kemiskinan ekstrem (di bawah US$2,15 per hari) menjadi 2,16 persen atau sekitar 6 juta orang pada Februari 2024.

Namun, laporan ini menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang diproyeksikan rata-rata 4,9 persen pada 2024-2026, belum cukup merata untuk mengangkat mayoritas penduduk ke standar hidup yang sesuai dengan status UMIC.

Risiko eksternal, seperti ketidakpastian ekonomi global dan perubahan iklim, juga dapat menghambat kemajuan ini.

Lembaga lain, seperti Asian Development Bank (ADB), mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,8 persen sejak 2010 telah mengangkat 3,3 juta orang dari kemiskinan hingga Maret 2014.

Namun, hingga Maret 2023, masih ada 25,22 juta orang (9,03 persen) yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional sebesar Rp582.932 per bulan.

ADB menekankan bahwa ketimpangan, terutama di wilayah pedesaan dan timur Indonesia, tetap menjadi tantangan besar.

Suara dari Lapangan: Realitas di Balik Statistik

Untuk memahami apakah penurunan kemiskinan dan pengangguran benar-benar dirasakan, tim investigasi dari Kompas melakukan tinjauan lapangan di Jakarta dan Jawa Timur pada Mei 2025.

Di Jakarta, seorang pekerja sektor informal, Siti, seorang penjual makanan keliling di Tanah Abang, mengaku penghasilannya rata-rata Rp100.000 per hari. “Cukup untuk makan, tapi untuk sekolah anak dan bayar kontrakan, harus pinjam sana-sini,” katanya dalam wawancara dengan Kompas.

Di Jawa Timur, petani kecil seperti Budi di Lumajang mengeluhkan harga pupuk yang terus naik, sementara hasil panen tidak sebanding dengan biaya produksi. “Katanya kemiskinan turun, tapi saya masih susah beli beras,” ujarnya.

Temuan ini sejalan dengan laporan Oxfam International pada Januari 2023, yang menyebut Indonesia sebagai negara dengan ketimpangan kekayaan keenam terbesar di dunia.

Empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan lebih besar daripada total 100 juta orang termiskin.

Laporan ini menggarisbawahi bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat tidak otomatis mengurangi kesenjangan sosial.

Pengangguran: Kualitas Kerja di Bawah Bayang-Bayang Angka

Meskipun tingkat pengangguran terbuka menurun, data International Labour Organization (ILO) menunjukkan bahwa 14,4 persen pekerja di Indonesia pada 2010 termasuk dalam kategori “working poor” (pekerja miskin), dengan pendapatan di bawah garis kemiskinan nasional.

Studi terbaru dari Emerald Insight (2022) menegaskan bahwa angka ini belum banyak berubah, dengan sekitar 16 juta pekerja hidup dalam kondisi rentan.

Tidak adanya tunjangan pengangguran di Indonesia memaksa banyak orang bekerja di sektor informal dengan upah rendah, seperti pengemudi ojek online atau pedagang kaki lima.

Wawancara yang dilakukan oleh CNBC Indonesia dengan ekonom Universitas Indonesia, Teguh Dartanto, pada Juli 2025, menyoroti bahwa penurunan TPT tidak sepenuhnya mencerminkan kualitas pekerjaan.

“Banyak pekerja beralih ke sektor informal atau pekerjaan dengan upah rendah. Ini bukan solusi jangka panjang,” katanya.

Ed ; Syt