DUMAI.Kitamelayu.Com – Pemotongan dalam proses ganti rugi lahan di jalan Sidodadi kelurahan Bangsal Aceh, Kecamatan Sungai Sembilan oleh PT Meridan melalui anak perusahaan nya PT Adhtya Serayakorita menyisakan tanda tanya. Lahan seluas 17,8 hektar yang telah dibebaskan oleh perusahaan dengan nilai ganti rugi 650 ribu permeter. Dan dari hasil pemotongan Rp30 ribu permeter oleh tim pengurus, setidaknya dana pemotongan disinyalir terkumpul sebesar RP. 5.4 miliar.

Sementara biaya untuk mengurus surat dan bayar pajak serta bangunan tidak sampai sebesar itu, dana sisa sebesar itu kemana perginya dan pindah ke kantong siapa. Demikian, ungkap Andi Eko kepada beberapa media saat ditemui di kediamannya.

Menurut Andi Eko, itu salah satu penyebab dirinya dan beberapa warga lain, menolak surat pernyataan pemotongan. Karena dinilai pemotongan itu terlalu besar dan memberatkan warga penerima ganti rugi. “Potongan itu terlalu besar, karena biaya pengurusan dan bayar pajak tanah hanya ratusan juta saja. Pertanyaannya, kemana dan siapa yang menikmati dana tersebut’,” tanya Andi Eko.

Karena itu, pihaknya melaporkan adanya potensi dugaan pungutan liar (pungli) ke pihak kepolisian. Selain itu, ada dugaan kesepakatan atau mensrea dari kelompok tertentu untuk meraup keuntungan pribadi dan kelompok. “Dasar laporan ke polisi karena adanya dugaan pungli serta mensrea kelompok tertentu untuk mengambil keuntungan dari proses ganti rugi lahan warga. Kini laporan saya sudah diproses,” jelas Andi Eko.

Dikatakan Andi Eko lagi, dana pemotongan sebesar 5,4 miliar tersebut dipastikan mengalir ke kantong kantong pengurus dan kroninya, termasuk dugaan dana yang mengalir ke pihak kelurahan maupun perusahaan. “Patut diduga ada Kongkalikong antara beberapa kelompok, baik tim pengurus , kelurahan dan perusahaan. Untuk pembuktian, kita tunggu aja proses penyelidikan oleh pihak kepolisian,” ungkap Andi Eko.

Ateng alias Ali salah seorang warga penerima ganti rugi tanah dari kelompok Surya Dumai Group melalui PT Meridan dan anak perusahaan PT Adhtya Serayakorita mengaku menyesal ikut menandatangani surat pernyataan persetujuan pemotongan sebesar 30.000 permeter dan menilai tidak sesuai dengan kesepakatan awal. Karena bangunan rumahnya hanya ditaksir sebesar RP 300 juta oleh perusahaan padahal nilai bangunan rumahnya lebih dari 500 juta bahkan mendekati 1 miliar.Sesuai surat direksi perusahaan yang ditanda tangani Arpin serta kesepakatan awal warga, rumah dan bangunan akan di taksir permeter.

Faktanya, bangunan rumahnya di nilai global dengan harga 300 juta. “Untuk membuat rumah serupa, tidak bisa lagi. Karena uangnya tidak cukup. Saya terpaksa ikut tanda tangan karena tinggal saya sendiri masih bertahan,” keluh Ateng seperti rekaman percakapannya dengan Andi Eko yang diterima media.

Ateng juga mempertanyakan sisa tanah nya yang berlebih saat pengukuran namun tidak dibayar oleh pihak perusahaan, alasannya sisa tanah tersebut punya perusahaan. “Banyak warga yang komplain karena sisa tanah tidak dibayar perusahaan. Misalnya tanah kita tiga jembo diukur jadi 3 jembo setengah. Yang setengah jembo tidak dibayar, katanya milik perusahaan. Mereka yang untung, kita yang buntung!,” keluh Ateng.

Sumber Riaugreen.com

Editor: MK

Foto.riaugreen