DUMAI.Kitamelayu.Com – Rentetan bencana alam yang melanda berbagai wilayah di Pulau Sumatera belakangan ini telah mencapai titik yang sangat mengkhawatirkan. Banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi seolah menjadi siklus tahunan yang semakin hari semakin destruktif, merenggut harta benda hingga nyawa warga setempat. Kondisi ini memicu reaksi keras dari para aktivis lingkungan. David, salah satu tokoh pemerhati lingkungan yang vokal, menegaskan bahwa fenomena ini bukanlah sekadar faktor cuaca ekstrem semata, melainkan konsekuensi logis dari rusaknya bentang alam di hulu hingga hilir.

Menurut David, indikasi penyebab utama dari segala karut-marut bencana ini sudah sangat jelas terlihat di depan mata. Ia menilai ada korelasi langsung antara hilangnya tutupan hijau dengan ketidakmampuan tanah dalam menahan laju debit air hujan yang tinggi. “Permasalahan bencana besar yang menimpa di beberapa daerah di Sumatera sudah membuktikan penyebab utama adalah hutan,” ujar David saat memberikan keterangan resminya mengenai kondisi ekologi terkini.

Ia menekankan bahwa hutan bukan sekadar kumpulan pohon, melainkan sistem penyangga kehidupan yang jika diganggu akan memberikan dampak balik yang mematikan. Oleh karena itu, pengawasan terhadap aset alam ini tidak bisa hanya dibebankan pada segelintir instansi saja. David mengajak seluruh elemen warga untuk lebih peduli dan berani mengambil peran dalam memantau kondisi lingkungan di sekitar mereka. Kesadaran kolektif dianggap sebagai benteng terakhir dalam mempertahankan sisa-sisa hutan yang ada. “Jadi saya menghimbau kepada seluruh lapisan masyarakat ikut serta dalam pengawasan hutan,” tegas David guna memotivasi keterlibatan publik dalam isu pelestarian alam.

Namun, pengawasan masyarakat tentu memiliki batasan jika tidak didukung oleh instrumen data yang valid. David melihat adanya celah besar dalam akses informasi yang menghambat peran serta masyarakat dalam menjaga hutan dari pembalakan atau alih fungsi lahan.Ia menyoroti pentingnya keterbukaan dari pihak eksekutif di tingkat lokal. Tanpa data yang jelas, masyarakat seringkali tidak tahu mana wilayah yang boleh dikelola dan mana yang harus dilindungi secara ketat sesuai aturan hukum. “Maka dari itu, diminta juga kepada Pemerintah Daerah untuk keterbukaan informasi publik yang mana sebenarnya wilayah hutan kita melalui Peta Wilayah Hutan,” lanjut David menjelaskan urgensi transparansi data spasial tersebut.

Selain kepada Pemerintah Daerah, David juga melayangkan tuntutan serupa kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Lembaga ini memiliki otoritas penuh terhadap kawasan-kawasan yang memiliki nilai keanekaragaman hayati tinggi namun seringkali tertutup akses informasinya. Transparansi ini dianggap krusial agar tidak ada tumpang tindih lahan yang seringkali menjadi pemicu konflik agraria maupun kerusakan lingkungan. David mendesak agar titik-titik koordinat wilayah yang dilindungi dapat diakses dengan mudah oleh siapa pun. “Dan juga diminta keterbukaan informasi kepada BKSDA yang mana saja wilayah hutan konservasi melalui peta wilayah BKSDA,” tambah David dengan nada lugas.

David mengingatkan bahwa BKSDA memiliki tugas pokok dan fungsi yang sangat besar, mulai dari pengelolaan Cagar Alam, Suaka Margasatwa, hingga pemberdayaan masyarakat. Semua fungsi tersebut tidak akan berjalan maksimal jika ada tembok informasi antara pengelola dan rakyat. Menutup keterangannya, David berharap agar seruan ini menjadi evaluasi serius bagi pemangku kebijakan. Baginya, menyelamatkan hutan Sumatera adalah satu-satunya jalan untuk memutus rantai bencana yang terus menghantui masyarakat di setiap musim penghujan.

Sumber : DDN

Editor: MK