DUMAI, Kitamelayu.Com – Polemik penguasaan lahan strategis di wilayah Sungai Sembilan, Kota Dumai, yang selama ini dikuasai oleh Ayu Junaidi, kian memantik perhatian publik. Sejumlah pihak mempertanyakan kejelasan status hukum lahan, apakah berada dalam kawasan hutan lindung, Hutan Produksi (HPH), atau Hak Pengelolaan Lahan (HPL), sekaligus menyoroti kepatuhan pajak dan legalitas penguasaan lahan dalam luasan besar oleh perorangan.
Berdasarkan penelusuran sejumlah elemen masyarakat sipil, lahan yang dikuasai Ayu Junaidi diduga berada pada wilayah yang dalam peta kehutanan lama masih tercatat sebagai kawasan hutan. Jika dugaan ini benar, maka penguasaan lahan tersebut berpotensi cacat hukum.Merujuk Pasal 50 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, setiap orang dilarang menguasai dan menggunakan kawasan hutan secara tidak sah. Sementara itu, perubahan status kawasan hutan hanya dapat dilakukan melalui keputusan pemerintah pusat, bukan sekadar dokumen administrasi di tingkat lokal. “Jika SKGR atau alas hak diterbitkan di atas kawasan yang secara yuridis masih berstatus hutan, maka secara hukum itu bermasalah dan berpotensi batal demi hukum,” ujar seorang aktivis lingkungan Akhmad Khadafi.
Persoalan lain yang tak kalah serius adalah luasan lahan yang disebut-sebut mencapai beberapa hektare dan masih tercatat atas nama perorangan. Padahal, dalam Pasal 7 dan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) ditegaskan bahwa: Penguasaan tanah yang melampaui batas dan menimbulkan ketimpangan sosial tidak dibenarkan.
Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang pelaksanaan pembatasan luas maksimum tanah pertanian menegaskan bahwa kepemilikan tanah dalam jumlah besar harus tunduk pada batasan, dan dalam praktik modern, pengelolaan lahan luas untuk kepentingan usaha wajib melalui badan hukum (perusahaan), bukan atas nama pribadi. “Kalau luasnya besar dan dimanfaatkan secara ekonomi, seharusnya berbentuk PT, koperasi, atau badan hukum lain, bukan dikuasai perorangan. Ini prinsip dasar reforma agraria,” tegas Akhmad Khadafi, aktivis lingkungan Dumai.
Selain status hukum lahan, kewajiban pajak juga menjadi sorotan tajam. Lahan yang dikuasai sejak sekitar 2003 itu seharusnya telah dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) secara konsisten. Mengacu pada UU Nomor 12 Tahun 1994 tentang PBB dan kini diperkuat dengan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, setiap subjek pajak yang menguasai atau memanfaatkan tanah wajib membayar pajak tanpa kecuali. “Pertanyaannya sederhana: apakah PBB dibayar penuh sesuai luas dan peruntukan lahan? Kalau tidak, ini bukan sekadar administrasi, tapi berpotensi merugikan keuangan daerah,” kata Khadafi.
Aktivis menilai negara dan pemerintah daerah tidak boleh kalah oleh kepentingan individu yang menguasai lahan strategis dalam waktu lama tanpa kejelasan hukum. “Ini bukan soal siapa orangnya, tapi soal wibawa hukum negara. Kalau lahan bermasalah dibiarkan, maka pesan yang muncul: hukum bisa dinegosiasikan,” ujar Khadafi dengan nada keras.
Ia mendesak BPN, Dinas Kehutanan, dan pemerintah pusat membuka peta kawasan secara transparan dan melakukan audit menyeluruh. Praktisi hukum menilai, “Persoalan ini berpotensi masuk dalam kategori perbuatan melawan hukum jika terbukti ada penguasaan lahan tanpa dasar yang sah,” ujar Dr (Cand) Eko Saputra.,SH,.MH.
“Jika lahan berada di kawasan hutan atau HPL, lalu dikuasai perorangan tanpa izin pelepasan kawasan, maka itu melanggar hukum agraria dan kehutanan. Bahkan bisa berimplikasi pidana,” kata seorang praktisi hukum ini. Ia menegaskan bahwa kepemilikan tanah bukan sekadar soal lama menguasai, tetapi harus sesuai dengan peruntukan, status kawasan, dan kepatuhan pajak.
Kasus penguasaan lahan oleh Ayu Junaidi kini menjadi ujian serius bagi penegakan hukum agraria dan kehutanan di Dumai. Publik menunggu keberanian negara untuk membuka fakta apakah lahan tersebut sah, atau justru menjadi contoh pembiaran hukum yang sistematis.
Sumber : Pesisirnasional
Editor: Mk
