DUMAI, – Telah saban dwi mingguan, kawasan pesisir Kota Dumai langganan banjir, terutama pasang keling. Jika siklus dwi mingguan ini terjadi, maka dalam 24 jam pada hari tersebut, pasang keling merayap bukan hanya kawasan pesisir pantai atau bantaran sungai, tapi sudah meluap jauh dari titik pantai atau bantaran sungai, merayap jauh ke darat atau tengah kota.

Pasang keling merupakan fenomena alam, pertemuan air laut pasang naik dengan luapan air pembuangan sungai, parit maupun saluran pembuangan rumah tangga. Pasang keling semakin tinggi jika hujan turun.

Sungai Dumai merupakan sungai utama yang membelah kota, dengan hulu nya di Kelurahan Bukit Batrem, masuk Kelurahan Bumiayu terus ke Kelurahan Bukit Datuk, Rimba Sekampung, Pangkalan Sesai dan bermuara di Kelurahan Laksamana.

Jika Sungai Dumai sedang pasang keling, pastilah kelurahan yang dilewati terdampak langsung. Akan halnya kelurahan lain, seperti Kelurahan Buluh Kasap, sebahagian Teluk Binjai, Jayamukti, Ratu Sima dan Kelurahan STDI, paparan banjir pasang keling merupakan imbas langsung dari selokan sepanjang pesisir. Belum lagi dampak terjadinya abrasi pantai.

Pengakuan sebahagian warga masyarakat di sebahagian kelurahan, ketinggian air pasang selalu bertambah setiap tahunnya.

Gaya hidup masyarakat yang suka buang sampah sembarangan ditambah pembangunan fisik, seperti dermaga, rumah, gudang, warung dan ragam infrastruktur lainnya, menjorok maju ke tengah sungai, membuat banjir semakin tak terkendali. Bangunan yang memakan alur sungai, sudah jelas memperlambat laju arus atau kelancaran air.

Walau Pemko Dumai lewat Dinas PU telah menyediakan 15 (lima belas) unit pintu air dan rumah pompa disepanjang Sungai Dumai, namun imbas pasang keling masih tetap jadi momok menakutkan bagi masyarakat. Rumah pompa bukanlah solusi utama, tapi alternatif kesekian penanggulangan banjir pasang keling.

Yang jelas, perputaran ekonomi pasti terganggu, proses belajar mengajar sekolah, kehidupan sosial juga, belum lagi kendaraan dan barang elektronik yang terkena korosi (karat).

“Memang agak berkurang tinggi pasang keling dan durasinya Bang sejak ada rumah pompa itu. Ya.. syukur dan terimakasih kepada Walikota Paisal. Cuman, kalau kemajuan teknologi mengatasi banjir tak disertai gaya hidup masyarakat yang peduli terhadap lingkungan dan kebersihan, tak berdampak signifikan Bang. Sebab, kalau listrik PLN padam, pasang keling tetap tertahan lama di darat Bang. Pasang keling itu fenomena alam Bang”, ujar beberapa tokoh masyarakat dibeberapa kelurahan, saat dimintai pendapat oleh Jurnalis.

Salah satu Penanggap dari 7 Penanggap yang diundang dalam Forum Group Discussion (FGD) pada Selasa (20/8/2024), yang diadakan Dinas PU bersama Badan Penelitian dan Perencanaan Pembangunan (Bappedalitbang) lalu, menghadirkan Team Leader Penyusunan Master Plan Pengendalian Banjir Kota Pekalongan pada 2020; Priyo Nugroho Parmantoro, ST., MT.

Berikut tanggapan Priyo Nugroho Parmantoro terkait fenomena banjir pasang keling Kota Dumai.

“Fenomena banjir yang ada di Dumai, mirip seperti di Kota Pekalongan, yakni kawasan pesisir ada fenomena land subsidence (penurunan muka tanah), karena secara geologi terbentuk dari proses sedimentasi dalam jangka waktu yang sangat lama sehingga memungkinkan tanah mengalami kompaksi (menyusut). Hal ini akan mengakibatkan penurunan permukaan tanah saat pasang air laut yang mengakibatkan pasang keling menggenangi daratan. Karena daratan lebih rendah dari air laut terutama saat pasang, maka air laut bisa masuk melalui luapan di daerah pesisir atau saluran-saluran yang terhubung dengan air laut / sungai bagian hilir”, kata Priyo Nugroho.

Lanjutnya lagi; “Banjir karena air laut ini disebut banjir rob. Di Dumai banjir rob akan terjadi terutama saat pasang besar yakni pasang keling. Sedangkan di Pekalongan, kejadian banjir rob hampir setiap hari karena banyak lokasi daratannya lebih rendah dari permukaan air laut rerata (MSL) . Genangan diperparah

Genangan diperparah jika kejadiannya bersamaan dengan hujan lebat. Kota Pekalongan mempunyai kondisi yang lebih parah jika dibandingkan dengan Kota Dumai dimana laju penurunan tanah lebih besar dibandingkan Kota Dumai. Di Kota Pekalongan gelombang yang sampai ke pesisir lebih tinggi dibandingkan di Dumai, sehingga akan menyebabkan abrasi pantai yang lebih besar. Akan tetapi, jika dilihat dari pasang surut, Dumai mempunyai pasang surut yang besar yakni mencapai 3,5 m jika dibandingkan dengan kota Pekalongan yang hanya sekitar 1 m. Inilah penyebab utama genangan di kota Dumai”.

“Secara logika, sesuai penyebabnya, maka penanganan banjirnya adalah mencegah air laut masuk ke daratan dengan menggunakan tanggul. Untuk di saluran, pencegahan masuk air laut dapat dibuatkan pintu, sehingga saat air laut pasang, pintu akan ditutup sedangkan saat surut pintu dapat dibuka karena air dapat mengalir secara gravitasi. Tanggul dapat terbuat dari sheet pile, urugan tanah, parapet dan sebagainya melihat kondisi setempat dan biaya. Akibat adanya tanggul, maka air hujan terjebak d saluran.  Untuk mengeluarkan air di saluran saat pasang air laut, maka diperlukan pompa, karena pintu air ditutup. Kapasitas pompa dapat diperkecil dengan memperbanyak tampungan (storage) baik berupa kolam (detention pond) ataupun memperbesar saluran drainase (long storage)”.

“Sistem tersebut perlu dukungan masyarakat, yakni gaya hidup peduli lingkungan dan kebersihan, dengan tidak membuang sampah sembarangan, terutama di saluran itu yang utama. Selain itu penutupan saluran dengan beton, akan mengakibatkan genangan air di jalan susah masuk ke saluran. Sebaiknya penutup saluran diganti dengan gril-gril, sehingga memudahkan air genangan di jalan masuk ke saluran. Selain itu kanstin-kanstin harus ada lubang dengan jarak tertentu, agar air hujan yang jatuh di jalan bisa masuk kedalam saluran. Partisipasi masyarakat lainnya adalah; dengan tidak membuat rumah di bantaran sungai. Pengembangan kawasan dengan cara reklamasi, sebaiknya jangan merubah tatanan sistem drainase yang ada, karena secara prinsip, fungsi drainase adalah mempercepat pembuangan air ke sungai atau ke lautan”.

“Saat ini Kementerian PUPR dan para ahli banjir sudah mengenalkan konsep ∆Q = 0. Maksudnya adalah bagi pengembangan kawasan yang baru, jangan sampai debit luapan aliran permukaannya, terutama saat hujan bisa membebani saluran drainase yang ada. Untuk ini diperlukan embung-embung yang berfungsi sebagai kolam retensi di lokasi pengembangan tersebut, misalnya di kawasan perumahan , kawasan pabrik, dan kawasan reklamasi”.

“Dari uraian di atas, maka optimis banjir di Dumai kota dapat tertangani apabila didukung oleh semua stakeholder, termasuk pemerintah pusat dan Pemerintah Propinsi Riau, serta stake holder yang ada di pesisir, karena penanganan banjir rob pastilah memerlukan dana yang tidak sedikit”, pungkas pria yang pernah sekolah di Bukit Datuk Kota Dumai ini.

Selain sebagai Team Leader Penyusunan Master Plan Pengendalian Banjir Kota Pekalongan pada 2020, Priyo Nugroho Parmantoro juga seorang Dosen Tetap Teknik Sipil di Universitas Diponegoro. Beliau merupakan sarjana alumni S1 Teknik Sipil dari UGM dan alumni S2 IHE-Delft The Netherland.

Berikut link profil lengkap Priyo Nugroho Parmantoro, ST., MT., di google. Silahkan pembaca buka:

“https://profilpelajar.com/profil/dosen/Priyo-Nugroho-Parmantoro/0b4383382183b8b52af685216b0785b45d425ad6”

(ES)