Dumai, Kitamelayu.Com – Bila ditilik (ditinjau) dampak dari debu bungkil di daerah industri perkotaan Dumai di Dumai Kota Riau, itu hanyalah sebagian dampak persoalan lingkungan hidup yang menjela-jela di area pergudangan bungkil dan ujung dermaga C dari peristiwa loading pengapalan turunan produksi buah tandan segar (bts) dari tanaman pembunuh lingkungan hidup sekaligus penghidup ekonomi rakyat Indonesia yang perlu direvisi kembali Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup Strategis (RLHS) di industri perkotaan kota Dumai yang didapuri oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. PELINDO DUMAI yang disebut debu bungkil atau cangkang yang berterbangan membawa debu dan bau.

Adalah Darwis Mohd Saleh seorang Aktifis Lingkungan Hidup dan seniman, budayawan yang lahir di Dumai itu sendiri, pas betul ditapak industri ini di kampung Pasar Pantai yang sekarang dikenal dengan area industri Pelindo Dumai. Beliau menganalisis juntaian dampak lingkungan hidup akibat Rencana Pengelolaan Lingkungan (RPL) yang tak becus dan yang berkelanjutannya adalah ketakbecusannya selama ini. Demikian pendapat ketua LSM PECINTA ALAM BAHARI CLUB kota Dumai ini.

Pertama terbersitlah di pemikirannya untuk diketahui masyarakat yang berada disekitar kawasan industri ini adalah: terjadinya percepatan perubahan iklim berupa banjir rob atau pasang Keling akibat hilangnya beberapa buah sungai alam dan reklamasi atas laut serta berubahnya pola arus pasang yg melimpah ke dalam sungai Dumai yg sebagian menjadi tapak industri sejak 1987, 1989, 1990, 2002, 2020, 2024 Hingga 2025 ini kita hanya bisa menghitung dampak negatif industri ini bak setangkai buah rambai berjuntai-juntai kerugiannya yang dapat dirasakan hingga ke masa mendatang yang memperburuk rencana Indonesia sehat 2021-2041 dalam versi rencana pembangunan berkelanjutan di daerah Dumai dan bagian Riau ini.

Kedua, dampak kesehatan yang mengancam masyarakat bak santau (racun) tradisional yang menyerang paru-paru. Diiringi lagi polusi desibel suara kendaraan dan derit palka kapal yg memeranjatkan jantung serta berterbangannya habuk (debu) bak pelesit (hantu) lokal sampai ke atap-atap rumah penduduk di Dumai kota dan Dumai barat. Dan sisanya tumpah ke laut bak menu makanan siput tumpah. Makan sumpah! Nasib kesehatan masyarakat lokal tak sepadan dengan pelayanan kesehatan pelabuhan itu sendiri.

Dan dari pengepulan kembali debu ini membuat sakit hati antara aktifis lingkungan dan pekerja yg ada. Maka terjadilah konfliksitas diantara masyarakat.Ke tiga, terjadinya bencana ekologis dan penurunan keanekaragaman hayati sebagai isu lingkungan hidup akibat memepaknya (berserak) tumbuh kebun sawit ilegal yg ikut menyumbang volume bungkil dan volume komoditi ekspor habuk ini di pelabuhan industri dan gudang Pelindo Dumai yg dekat dgn pemukiman jualan warga sepanjang jalan Datuk Laksamana Dumai.

Dari beberapa butir analog ini betapa terbacanya pelanggaran Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 yang menyatakan : “setiap masyarakat berhak mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat.” Pada kenyataannya saat ini kota Dumai hanya DAPAT HABOK dari area industri Pelindo yang pengelolaan sampah perusahaan-perusahan disini dominasi masih tergolong di zona merah, artinya pengelolaan sampah perusahaan disini sangat buruk. Akibatnya kota Dumai hanya sekali mendapat penghargaan negara berupa piala ADIPURA kategori kota sedang tahun 2022 seakan petanda Rencana Pengelolaan Lingkungan (RPL) hanya pura-pura, semestinya paling tidak 3 tahun berturut-turut tanda serius mengurus lingkungan. (RLS )

Editor: MK

Foto. Darwis @ElangWaktu.