DUMAI, Kitamelayu.Com — Di tengah hiruk-pikuk perkembangan kota, nama *Panglimo Gedang Dumai* kembali menggema. Bukan karena jabatan, bukan pula karena ritual seremonial, melainkan karena wibawanya yang selama ini menjadi tembok terakhir penjaga marwah adat Melayu di tanah pesisir.

Dalam beberapa bulan terakhir, Panglimo Gedang kerap muncul di berbagai titik kampung tradisi. Langkahnya selalu disambut hormat, seakan setiap derapnya membawa pesan bahwa adat Melayu bukanlah peninggalan masa lalu, melainkan jati diri yang harus terus dijaga dengan penuh keberanian.

Di saat kabar tentang perselisihan kecil antar warga berembus, Panglimo Gedang hadir sebagai penenang. Dengan suara yang tegas namun menyejukkan, ia dipercaya mampu meredam bara sebelum menjadi api. Banyak kisah diceritakan masyarakat, bagaimana ia turun di saat malam, berbicara dari hati ke hati, hingga konflik mereda tanpa teriak, tanpa paksaan. “Kalau Panglimo sudah bicara, kami mendengar. Karena beliau bukan hanya pemimpin adat—beliau cermin harga diri orang Melayu,” ujar seorang warga pesisir Sungai Dumai yang sering menyaksikan peran sang panglimo dalam menyelesaikan masalah masyarakat.

Ketegasannya tak pernah dibalut amarah. Wibawanya tumbuh dari pengalaman panjang, dari darah adat yang mengalir, dan dari keyakinan bahwa tanah Dumai harus tetap berdiri pada marwahnya santun, kuat, dan tak mudah digoyahkan.

Panglimo Gedang Dumai juga menjadi suara bagi generasi muda. Ia sering mengingatkan bahwa adat bukan sekadar pantun dan pakaian tradisi, melainkan prinsip hidup. “Orang Melayu hilang adat, hilanglah dirinya,” begitu pesan yang sering ia sampaikan di berbagai pertemuan kampung.

Kini, di tengah derasnya perubahan zaman, banyak yang melihat peran Panglimo Gedang sebagai benteng terakhir—sosok yang menjaga agar akar budaya Melayu tidak lapuk dimakan waktu. Dan selama beliau masih berdiri tegak di tanah Dumai, masyarakat percaya bahwa marwah mereka tidak akan pernah runtuh..

Sumber : ombel

Editor: MK