Bila kita mengkaji mengapa daerah perlu dimekarkan, dari berbagai usulan yang ada menunjukkan alasan-alasan yang bervariasi. Pertama, dikaitkan dengan rentang kendali suatu wilayah daerah yang dianggap terlalu luas, sehingga untuk mendekatkan pihak pengambil kebijakan (yang bertempat di ibu kota pemerintahan daerah) dengan masyarakat, dipandang perlu menghadirkan suatu institusi dan struktur pemerintahan daerah baru. Alasan ini terkait dengan upaya meningkatkan kualitas pelayanan pemerintah daerah terhadap masyarakatnya.
Kedua, dalam rangka menciptakan pemerataan pembangunan, karena kenyataannya konsentrasi kegiatan dan pertumbuhan pembangunan (ekonomi) selalu berada di ibu kota pemerintahan daerah dan wilayah sekitarnya. Sementara semakin jauh dari ibu kota daerah maka akan semakin tertinggal pula daerah itu, sehingga para elite dari masyarakat yang berada di daerah yang tertinggal itu berupaya untuk menghadirkan pemerintahan sendiri.
Ketiga, dan ini sering tidak diungkap sebagai alasan tertulis, adalah upaya untuk bagi-bagi kekuasaan di tingkat lokal. Perputaran elite di tingkat yang begitu lambat, bahkan sejumlah elite daerah yang sudah keenakan di kursi kekuasaan dan jabatan, terus mempertahankannya dengan berbagai cara, sehingga muncul kecemburuan dari para elite lain yang juga haus kekuasaan. Konflik di antara para elite lokal itu dalam memperebutkan kekuasaan dan jabatan sering tak bisa dihindari, termasuk di dalamnya melibatkan rakyat (arus bawah) dalam wujud konflik horizontal sebagaimana terjadi di beberapa daerah pemekaran baru sehingga dengan berbagai cara berupaya memekarkan daerah untuk bisa memperoleh jabatan atau kekuasaan di daerah baru itu. Apalagi bagi mereka yang sudah berjasa dalam memperjuangkan daerah pemekaran, sudah memposisikan diri sebagai pihak yang harus dapat bagian jatah kursi jabatan atau politik dan kekuasaan di daerah baru itu.
Menarik namun ironisnya daerah-daerah yang dimekarkan maupun yang tengah diusulkan untuk memperoleh persetujuan pemekaran ini adalah penonjolan dari segi kelayakan administratif semata. Sementara dari segi kemampuan ekonomi atau potensi ekonomi yang memungkinkan daerah itu secara relatif mandiri (yang diwujudkan dalam PAD dan atau dana bagi hasil), sering diabaikan, dan atau dilakukan dengan kecenderungan gaya manipulatif sehingga bisa dilihat di atas kertas sebagai layak. Tampak sekali, ambisi untuk melakukan proyek pemekaran adalah pihak Depdagri dan atau juga pihak DPR dengan menggunakan hak usul inisiatifnya yang memperoleh persetujuan pemerintah. Makanya, tidak heran, dalam operasionalisasi pemerintahan dan pembangunan di daerah-daerah yang baru dimekarkan, umumnya, memiliki ketergantungan mutlak pada pendanaan dari pemerintah pusat dengan berbagai caranya.
Perlu dicatat adalah bahwa baik dari segi alasan pemekaran seperti yang sudah dijelaskan di atas maupun tujuan substansi eksistensi dan pengelolaan pemerintahan daerah otonom, tidak selalu harus dijawab dengan ‘harus adanya pemekaran’. Justru dengan adanya pemekaran akan terjadi kecenderungan kontraktif dengan tujuan pengelolaan daerah otonomi dan desentralisasi sendiri. Mengapa?
Pertama, pemekaran daerah umumnya hanya merupakan perluasan struktur yang diperebutkan oleh para elite dengan konsekuensinya berupa pembiayaan yang begitu besar yang diorientasikan pada pembangunan sara dan prasarana pengelolaan pemerintahan lokal (infrastruktur), pembiayaan aparat pemerintahan daerah (eksekutif, DPRD, dan lain-lain).
Kedua, tujuan desentralisasi pengelolaan pemerintahan yang diimplementasikan dalam kerangka otonomi daerah adalah dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan masyarakat (dengan mendekatkan jarak antara pengambil kebijakan dengan yang masyarakat sebagai pihak harus dilayani), dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat, yang dikelola dengan cara-cara demokratis.
UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah memang masih membuka ruang untuk kembali dilangsungkannya proyek pemekaran daerah. Dengan dasar itu pula, barangkali, pihak Depdagri kembali menyahuti usul-usul pemekaran, apalagi memang masih ada sejumlah usulan yang diterima pada periode pemerintahan sebelumnya. Kenyataan ini memang merupakan dilema atas realitas pemekaran atau usulan pemekaran daerah dengan fungsi desentralisasi-otonomi daerah sendiri, yang memerlukan kearifan dari para pengambil kebijakan untuk secara hati-hati dalam meresponsnya.
Pertama, diperlukan pengkajian ulang terhadap semua daerah yang sudah dimekarkan. Dengan pengkajian ulang, setidaknya bisa diperoleh potret obyektif terhadap kondisi dan dampak daerah-daerah yang sudah dimekarkan itu.
Kedua, diperlukan payung hukum yang lebih objektif-rasional yang bisa dijadikan dasar untuk memproses, menyetujui atau menolak usul pemekaran, termasuk di dalamnya upaya penggabungan daerah. Ketiga, diperlukan suatu bentuk inovasi pengelolaan pemerintahan lokal di mana tanpa pemekaran tujuan desentralisasi-otonomi daerah bisa dicapai. Prioritas kebijakan pembangunan agaknya harus diarahkan pada upaya membuka keterisoliran daerah-daerah yang wilayahnya luas dan tertinggal dan menjadikan institusi pemerintahan sublokal (kecamatan dan desa) lebih bisa menjadi pusat pelayanan masyarakat. Pembangunan pusat pertumbuhan ekonomi tidak perlu dengan terlebih dulu memekarkan pemerintahan lokal, cukup dengan menciptakan perangsang sehingga aktivitas perekonomian masyarakat wilayah itu sehingga bisa lebih maju.