Mengape harus angkat senjate nak mintak Riau istimewe, kalau lah dulunye negeri ini dah pun teristimewe.”

RAS Melayu merupakan Ras terbesar kedua setelah Ras Jawa, oleh karnanya wajar kalau Bahasa Melayu dipakai sebagai Bahasa persatuan di Negara Republik Indonesia ini. Lagi pula saat itu masyarakat Melayu hidup di belahan pesisir pantai. Mereka banyak menempati wilayah pesisir Sumatra, kepulauan sekitar Selat Malaka, pesisir Kalimantan, pesisir Sulawesi, pesisir Kepulauan Maluku, dan Pesisir Jawa.

Wilayah pesisir memungkinkan berbagai pertemuan antarbudaya. Meski begitu, masih tetap terlihat kekhasan budaya pesisir yang mirip satu sama lain, maka memudahkan saling berinteraksi sesama mereka.

Pada kurun waktu antara 1723 hingga 1746, tersebutlah Yang di Pertuan Besar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah atau dikenal dengan panggilan Raja Kecik dari Johor dan kemudian mendirikan Kesultanan Siak Sri Inderapura di Buantan Siak. 

Pada tanggal 21 Maret 1717, tahta Kerajaan Johor jatuh ke tangan Raja Kecik karena tidak adanya perlawanan dari Kerajaan Johor. Maka Sultan Abdul Jalil Riayat Syah turun tahta dan menyerahkan dirinya dengan datang kepada Raja Kecik tanpa senjata serta menerima nasibnya, disebabkan tidak ada kesempatan untuk melarikan diri.

Pada masa Sultan ke-11 yaitu Yang di Pertuan Besar Sultan Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin yang memerintah pada tahun 1889-1908, dibangunlah istana yang megah terletak di Kota Siak dan istana ini diberi nama Istana Asseraiyah Hasyimiah yang dibangun pada tahun 1889.

Sekelumit dari cerita kesejarahan di atas tampak jelas dan nyata bahwa Kerajaan Siak Sri Indrapura sudah teruji kemampuan strategi perang di zaman Raja Kecik dan strategi Ekonomi pada masa keemasannya hingga ke mancanegara di bawah pimpinan Yang di Pertuan Besar Sultan Assayaidis Syarif Hasyim dan berturunlah selanjutnya tahta kesultanan kepada ananda beliau Yang di Pertuan Besar Sultan Assayaidis Syarif Qassim II. 

Apatah lagi beliau sangat kental dengan anutan agamanya, sehingga beliau terkesan wara’ atau  menjauhkan diri dari dosa, maksiat dan perkara syubhat.

Dengan bijak dan jiwa patriotik serta ikhlas, beliau memberikan bantuan berupa modal harta berupa sejumlah uang senilai 13 juta Gulden, setara dengan 214,5 juta Gulden atau USD 120,1 juta atau Rp 1,47 triliun secara sukarela demi menghidupi Negara Indonesia saat itu yang tidak memiliki apapun ibarat bayi yang baru lahir dan sangat membutuhkan asupan susu dari ibunya, maka melalui Presiden Soekarno bantuan itu diserahkan. 

Hingga hari ini, Provinsi Riau sudah sangat banyak menyumbang kepada NKRI. Mulai dari sumbangan harta dari Sultan Siak, Bahasa Melayu sebagai Bahasa Persatuan Indonesia, devisa negara melalui hasil alam berupa minyak bumi, hutan, laut hingga minyak sawit dan banyal lagi hasil alam lainnya, maka sudah sepantasnyalah Republik Indonesia  wajib untuk menjadikan Provinsi Riau ini menjadi Daerah Istimewa atau PRO-RI (Provinsi Riau Istimewa).

Terkait hal itu, apabila kita kembali melihat ke belakang pada dahulunya  Siak Sri Indrapura adalah Swapraja atau istimewa, maka tak ada alasan lagi jikalau  Riau menuntut untuk kembali diberikan keistimewaan. 

Berdasarkan dari fakta sejarah di atas maka sudah begitu besarnya Sultan Siak menanam budi pada negara dan negeri ini. Maka tidak berlebihan apa yang dituntut masyarakat Riau tersebut diwujudkan. 

Hingga saat ini masyarakat Riau seperti pepatah ayam mati di lumbung padi. Ade pulak yang punye Sumber Daya Alam kite, tapi bisa pulak pusat yang membebagikannye. Itu pulak yang dicakap adil? ***

H. Tengku Syed Muhammad Amin bin Tengku Syed Ibrahim bin Tengku Syed Abu Bakar bin Tengku Bagoes Syed Toha

Zuriat dari Yang di Pertuan Besar Sultan Syarif Qassim

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *